Pro Kontra UU Anti Pornografi dan Pornoaksi

Dewan Perwakilan Rakyat RI memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dalam masa kerja mereka.

Setelah mempelajari secara kritis rancangan tersebut, Jaringan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Pro Perempuan menilai harus ada pembahasan lebih dalam mengenai rancangan itu karena tidak melindungi perempuan dan anak, bahkan cenderung menjadikan mereka korban.

Banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dengan alasan pelaku terangsang akibat sebelum melakukan kekerasan melihat atau menonton materi pornografi mendorong munculnya kebutuhan di masyarakat akan undang-undang yang dapat mencegah meluasnya pembuatan dan penyebaran materi pornografi. Pemerintah merespons kebutuhan tersebut dengan menyusun Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Meskipun undang-undang yang dapat mencegah penyebaran pornografi dibutuhkan, namun rancangan yang diajukan pemerintah belum memuaskan. Kelompok-kelompok perempuan yang tergabung di dalam Jaringan Prolegnas Pro Perempuan menilai RUU tersebut justru meleset dalam mendefinisikan pornografi sehingga dampaknya tidak menyentuh esensi dari peraturan hukum, yaitu melindungi masyarakat.

Dalam diskusi terbatas di Jakarta, Selasa (28/6), jaringan yang beranggotakan 35 organisasi perempuan—termasuk Komnas Perempuan, Kowani, Puan Amal Hayati, Muslimat NU, Cetro, Aliansi Pelangi Antarbangsa, Kalyanamitra, Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo, LBH Jakarta, dan LBH APIK Jakarta—menilai RUU justru berpotensi melahirkan kekerasan baru, menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada korban perempuan dan anak, melanggar kebebasan berekspresi, membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemahaman satu kelompok saja.

RUU ini juga tidak mengatur pembatasan akses terhadap situs porno di internet, majalah, dan VCD, serta media lain yang bermuatan pornografi, selain tidak mengatur pengawasan pelaksanaan serta respons dari masyarakat.

Kritik lain adalah terhadap Badan Antipornografi dan Pornoaksi Nasional (BAPN) yang dinilai tidak perlu ada. Alasan yang disampaikan, fungsi badan ini lebih seperti lembaga swadaya masyarakat daripada badan nasional, keanggotaannya tidak mewakili semua unsur di masyarakat, seperti pakar pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan pers. Selain itu, fungsi pengawasan BAPN terhadap proses penyidikan pornografi dan pornoaksi dinilai mengurangi tanggung jawab aparat terhadap publik. Akses publik untuk berpartisipasi dalam pemberantasan pornografi juga dibatasi sebab masyarakat harus melapor melalui LSM yang bergerak dalam bidang ini.

Belum lindungi perempuan

RUU menyebutkan, pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan tentang seks dengan cara mengeksploitasi seks, kecabulan, dan/atau erotika [Bab I, Pasal 1, Ayat (1)]. Sedangkan pornoaksi adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mempertontonkan atau mempertunjukkan eksploitasi seksualitas, kecabulan, dan/atau erotika [Pasal 1 Ayat (2)].

Dalam diskusi yang dipimpin Smita Notosusanto dari Cetro dengan narasumber Ketua Badan Pelaksana Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi (KIP3) dan Ketua Umum Aliansi Masyarakat Anti-Pornografi dan Porno-Aksi (Amap) Hj Yuniwati Maschjun Sofwan, Agus Pambagio dari Visi Anak Bangsa, KH Husein Muhammad dari Fahmina Institute Cirebon, Abdul Moqsith dari Wahid Institute, dan kriminolog dari Universitas Indonesia Syarifah, Ratna Batara Munti dari LBH APIK Jakarta mengatakan, definisi mengenai pornografi tersebut rancu.

Kerancuan disebabkan pengertian eksploitasi seks, kecabulan, dan erotika memiliki pengertian berbeda-beda. Eksploitasi seksual merupakan pemanfaatan seksual manusia secara berlebihan untuk mendapat keuntungan materi atau nonmateri bagi diri sendiri atau orang lain. Kecabulan menurut KUHP adalah perbuatan asusila atau melanggar kesopanan yang berhubungan dengan perkelaminan. Sedangkan erotika adalah gairah seksual atau hal-hal yang membangkitkan gairah seksual, kodrat alami manusia sebagai makhluk yang memiliki gairah seksual.

Definisi tersebut tidak menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk eksploitasi seks dan dampak yang dapat timbul terhadap perempuan dan anak. Sepanjang diskusi, kekhawatiran terbesar muncul pada tidak dilindunginya anak dan perempuan oleh RUU ini, bahkan menjadikan perempuan dan anak yang merupakan korban sebagai ”pelaku”.

KH Husein Muhammad, yang membahas dari sisi perdagangan manusia (trafficking), menegaskan RUU ini mengabaikan sama sekali fakta yang banyak terjadi bahwa perempuan dan anak yang terlibat dalam pornografi dan pornoaksi adalah korban dari perdagangan manusia. Karena ada relasi bersifat patriarkhi yang mensubordinasi perempuan dan anak, terutama anak perempuan, keduanya terpaksa masuk ke dalam dunia ini.

Kasus yang terungkap di media massa justru menunjukkan, perempuan dan anak sebenarnya adalah korban walaupun mereka tampil di dalam materi pornografi. Kasus VCD porno ”Bandung Lautan Asmara” (2001), misalnya, dua mahasiswa di dalam VCD itu memaksudkan kegiatan seksual mereka untuk konsumsi pribadi, tetapi teman mereka mentransfer rekaman itu ke dalam VCD dan menyebarluaskan tanpa izin. Begitu juga kasus VCD ”Lombok” (2005) tentang sepasang remaja yang berpacaran dan melakukan hubungan seksual, gambarnya diambil dengan mencuri-curi dari balik pohon.

Rachel Maryam, Femmy P Chandra, dan Sarah Azhari diambil gambarnya dari balik cermin kamar ganti pakaian oleh pemilik studio casting, Budi Han, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan (2003).

Relasi yang tidak imbang dalam pornografi yang tidak dipertimbangkan dalam RUU ini dipertegas oleh Syarifah yang menyebutkan, perempuan nyata-nyata dijadikan obyek seksual dan pengobyekan itu dianggap sebagai yang obyektif, wajar, terjadi di mana-mana sehingga posisi perempuan (dan anak) sebagai korban tidak terlihat.

Pornoaksi

Hal yang mendapat kritik tajam juga adalah diperkenalkannya istilah pornoaksi. Valentina Sagala dari Institut Perempuan sebagai anggota Jaringan Perempuan mengatakan, istilah ini muncul belakangan setelah sebuah organisasi kemasyarakatan melakukan penghancuran sejumlah tempat hiburan makan di Jakarta akhir tahun lalu dan setelah goyang Inul menggemparkan Jakarta.

Ratna Batara Munti menyebut isi pasal-pasal mengenai pornoaksi berpotensi mengkriminalkan semua perempuan. Pasal mengenai ”dilarang memperlihatkan payudara di muka umum”, misalnya, tidak dijelaskan payudara siapa. Pertanyaannya, bagaimana dengan ibu-ibu yang menyusui bayinya di muka umum? Bagaimana dengan kebiasaan masyarakat mandi dan buang air di kali?

”Banyak pasal-pasal yang muskil secara politis dan sosiologis. Secara politis menunjukkan negara yang ceriwis, masuk ruang privat individu. RUU ini memberatkan masyarakat bawah karena banyak pasal-pasal yang tidak jelas, seperti pasal dilarang mempertontonkan alat kelamin di muka umum. Lalu bagaimana dengan orang yang mandi di sungai?” papar Abdul Moqsith. Ditambahkannya, bila RUU ini disahkan, pemerintah harus menanggung konsekuensinya, yaitu menyediakan kamar mandi untuk setiap rumah tangga.

Dari sisi teologis, menurut Moqsith, RUU ini dikerangkakan oleh pandangan sebagian umat Islam. Misalnya, larangan menceritakan kisah-kisah cabul. Kalau ini disetujui, para kiai yang membaca dan mengajarkan Kitab Kuning di pesantren bisa kena pasal-pasal itu. Begitu juga bila membaca Surat Yusuf (Al Quran). Kalau mau diterapkan bisa bermasalah, tambah Moqsith.

Mengenai pornoaksi, Moqsith dan KH Husein Muhammad menyebutkan, di dalam fikih Islam terdapat berbagai pandangan tentang apa yang dianggap sebagai aurat pada perempuan dan laki-laki. Pengaruh budaya sangat kuat memengaruhi fikih sehingga, misalnya, tari perut yang memperlihatkan perut merupakan tontonan biasa di Mesir.

Sedangkan dari sisi media penyiaran, menurut Agus Pambagio, sebetulnya Pasal 36 Ayat (5c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah menyebutkan pelarangan penonjolan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika, dan obat terlarang. Pasal 57 menyebut pidana untuk pelanggaran adalah pidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp 1 miliar untuk penyiaran radio dan denda Rp 10 miliar untuk penyiaran televisi. *

isi dari UU APP (PDF).

sumber: Kompas Sabtu, 02 Juli 2005

~ oleh Nyoman Bagus Prasetia pada November 7, 2008.

Tinggalkan komentar